.
Perlawanan Pangeran
Mangkubumi dan Mas Said terhadap hegemoni VOC.
Perlawanan
terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan
kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung
sekitar 20 tahun. Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja
Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat dengan
kaum penjajah. Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan
VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap
jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin
berkurang. Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan
kekecewaan para bangsawan kerajaan. Terlebih lagi VOC melakukan intervensi
dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai
perlawanan misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said
adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara
dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14 tahun Raden Mas
Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana)
dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa sudah berpengalaman, Raden
Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga
kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan
orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan
sikap keluarga kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap
VOC yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bekerja
sama dengan VOC. Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap
penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC. Raden Masa Said diikuti R.
Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa)
pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar
Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati
Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang
sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan Mas Said cukup kuat karena mendapat dukungan dari
masyarakat sehingga menjadi ancaman yang
serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram.
Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas
Said akan diberi hadiah sebidang tanah di
Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak
menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap
VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara
berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin
mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari
Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran
Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan
perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji.
Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan
kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh
ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II
yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak
dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Dalam
suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750)
mengeluarkan kata-kata yang menghina dan
menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang
sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi. Dia menganggap pejabat VOC secara langsung
telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera
meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk
melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam politik
pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara
tuanya Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan
pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak
bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden
Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said
sepakat untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur,
daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati.
Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke
barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk
daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi
memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan meluas
di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan
pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah
berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar berita
bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk
segera datang ke istana kerajaan. Melihat
kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan
sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp
(1762-1834) untuk secepatnya menemui
Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam kondisi Pakubuwana II sakit
keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah
perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang
diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van
Hohendorft.
Isi perjanjian ini sangat
menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, karena Pakubuwana II telah
menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC. Perjanjian itu ditandatangani pada
tanggal 11 Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut.
1.
Susuhunan
Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure
kepada VOC.
2.
Hanya keturunan
Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja
Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
3.
Putera mahkota akan
segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749
Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan
Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut
merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram
yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada
pihak asing (VOC). Hal ini semakin membuat
kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga
keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlu diketahui bahwa pada
saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani, Pakubuwana II
dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja
yang baru. Mataram dalam keadaan vakum. Dalam keadaan vakum ini, oleh para
pengikutnya Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri
Susuhunan Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer. Karena
penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di
Desa Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan
atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun
kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi kemenangan diperoleh
Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said. Sebagai contoh pasukan Mangkubumi
berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu. Dari Kedu
pasukan Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil
menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi
tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said
mulai frustrasi dan putus asa. Oleh karena itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan
diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku
Gubernur Jenderal VOC digantikan oleh Jacob Mosel. Kedua pejabat VOC yang baru
ini berusaha keras untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas
Said. Cara perundingan mulai
dipikirkan secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang
terjadi di Mataram telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan
Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena
itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan
perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi
bersedia berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi
berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti. Isi
pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat
(daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai
sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah
Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan
Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian
Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Namun peperangan
dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang
tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam
konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan konsep dan
kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang sampai Indonesia merdeka. Sementara
perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal
17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah
Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara
Sumber:
1.
https://tirto.id/belanda-membelah-jawa-dengan-perjanjian-giyanti-cEpq
2. Riclefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Terj:
Dharmono.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
3.
Satyo, Anton. 2006. Giyanti 1755. Tanggerang: CS Book
Bentuk Perjuangan Fisik 1945-1946 di Indonesia
Kedatangan
Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia.
Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan perlawanan dari
masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat kedatangan Sekutu di Indonesia
terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini. Pada periode Perang Kemerdekaan (PK) atau Revolusi Kemerdekaan (RK)
pemerintah bersama rakyat bahu membahu berjuang mempertahankan kemerdekaan yang
akan direbut kembali oleh Belanda dengan bantuan sekutu-sekutunya. Pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan tahun
1945-1949 menggunakan dua strategi perjuangan, yaitu strategi perjuangan
melalui kekuatan fisik (tempur), dan strategi perjuangan melalui diplomasi
(perundingan). Kedua strategi perjuangan
tersebut dalam pelaksanaannya, terkadang ada dalam dinamika yang menunjukkan
soliditas, tetapi terkadang ada dalam ketidakterpaduan, bahkan ada sentimen
saling mencurigai diantara keduanya. Sejarah
Perang Kemerdekaan (SPK), kendati tempo waktunya relativ pendek, namun periode
tersebut merupakan periode yang sangat menentukan untuk mempertahankan
kemerdekaan. Ketika itu, saking heroiknya sehingga lahir jargon perjuangan yang
selalu dikumandangkan "merdeka atau mati". Kata-kata tersebut
terucap sebagai suatu komitmen, janji suci dari para pejuang dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan.
1.Perjuangan Fisik
Perjuangan
fisik yang dimaksudkan di sini yaitu suatu strategi perjuangan yang dikelola
dan dimotori oleh tentara dengan melibatkan tenaga bantuan secara sukarela dari
rakyat. Bersatunya tentara bersama rakyat dalam membangun kekuatan ini
merupakan suatu tindakan yang sangat tepat dan teruji kehandalannya di
medan tempur. Perjuangan fisik
terselenggara mendahului dari perjuangan diplomasi. Hal ini terjadi tidak bisa
ditawar-tawar lagi, karena ketika proklamasi dikumandangkan tanggal 17 Agustus
1945, kekuatan bersenjata pasukan Jepang dinyatakan masih utuh. Dan ketika itu,
pasukan Jepang yang sudah kalah dalam pertempuran, kemudian mendapat tekanan
dari Sekutu, agar tentara Jepang mempertahankan status quo. Dengan adanya
tekanan tersebut, mengakibatkan pasukan Jepang harus bertempur melawan
tentara dan rakyat pejuang yang berusaha untuk melucuti senjata pasukan Jepang. Upaya
mempertahankan kemerdekaan semakin hari semakin berat lagi, hal ini terutama
setelah mendaratnya pasukan Sekutu pada pertengahan bulan September 1945. Ini
suatu kenyataan historis yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia yang
baru berumur kurang lebih satu bulan. Perlawanan
tentara yang dibantu rakyat dalam menghadapi setidaknya tiga kekuatan pasukan
asing (Jepang, Belanda dan Sekutu) diawal tahun kemerdekaan, telah menimbulkan
peperangan yang sangat dahsyat, dan menelan banyak korban dari kedua belah
pihak. Dalam sejarah, pertempuran tersebut biasa dikonsepsikan dengan
sebutan "pertempuran awal" antara tentara bersama rakyat
Indonesia melawan tentara Jepang, Belanda, dan Sekutu. Berbagai kejadian yang terkategorikan
"pertempuran awal" diantaranya pertempuran: Medan Area, Puputan
Margarana, Bandung Lautan Api, Tiga Hari Tiga Malam di Semarang, Bojongkokosan
di Sukabumi, Surabaya, Bandung Selatan, dan lain-lain.
Di
sini kiranya perlu disoroti mengenai keterlibatan rakyat bersama-sama tentara
dalam pertempuran. Derajat partisipasi rakyat dalam pertempuran ini tidak harus
selalu diartikan memanggul senjata. Namun keterlibatan rakyat dalam perjuangan
ini lebih disesuaikan dengan situasi dan kemampuan rakyat saat itu. Orang kaya
berpartisipasi dalam pertempuran bisa dengan cara menyumbangkan sebagian harta
kekayaannya untuk membantu kelancaran perjuangan. landasan historisnya berdasar
kepada terpadunya perjuangan antara tentara dengan rakyat pada masa revolusi
1945-1949.
2, Bentuk Perjuangan Fisik
a.
Perjuangan Rakyat Semarang dalam Melawan Tentara Jepang
Berita
proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari
pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus
1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio tentang sebuah
pernyataan dan perintah agar pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak
Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin membakar semangat para pemuda
Semarang dan sekitarnya untuk melakukan perebutan kekuasaan. Bahkan
Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang mengeluarkan pernyataan
atau perintah sebagai berikut.
Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka
dengan ini kami atas nama rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan
pernerintahan untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang.
1. Mulai
hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI untuk daerah Semarang
mulai berlaku.
2. Terhadap
segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata
api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya harus diserahkan
kepada polisi.
4. Hanya
bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar
5. Terhadap
segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil
tindakan keras
Suasana di Semarang semakin
panas. Jepang tidak menghiraukan seruan pemerintahan di Semarang. Pada tanggal
7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang,
Kedobutai di Jatingaleh. Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam
tangsi untuk membahas mengenai penyerahan senjata. Perundingan itu berjalan
tersendatsendat, tetapi akhirnya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.
Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober
1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh
para pemuda ke penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para
tawanan berhasil melarikan diri dan minta perlindungan kepada batalion
Kedobutai. Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah, para pemuda segera
menyerang dan melakukan perebutan senjata terhadap Jepang. Terjadilah
pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan pasukan Jepang. Pertempuran
ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang
harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air minum di
Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi
Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air
ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang. Oleh karena rakyat menjadi gelisah,
dr. Kariadi, kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek
persediaan air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang. Hal ini telah
menambah sengitnya pertempuran antara para pemuda melawan tentara Jepang. Para
pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang.
Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan
kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha dapat menguasai
daerah Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi
tiga kekuatan sebagai berikut.
a. Poros
Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah
dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan bantuan pasukan
dari Pekalongan dan Kendal.
b. Poros
Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
c. Poros
Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya bantuan
BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara itu, dari pihak Indonesia telah
datang bantuan dari berbagai penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri),
juga dari Timur, seperti dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari
Selatan seperti dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Tanggal 17 Oktober 1945,
tercapai suatu perundingan mengenai gencatan senjata yang diadakan di Candi
Baru. Pihak Indonesia juga menyetujui perundingan tersebut. Sekalipun telah
disepakati adanya gencatan senjata, ternyata Jepang masih melanjutkan
pertempuran. Pada tanggal 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang berhasil
mematahkan berbagai serangan para pemuda. Pada hari itu, telah datang beberapa
utusan pemerintah pusat dari Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan
perdamaian di Semarang. Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu,
antara lain Kasman Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara
lain Jenderal Nakamura. Kemudian, dilanjutkan perundingan untuk mengatur
gencatan senjata. Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para
pemuda tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 Oktober 1945
pukul 10.00. Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan
pada perjanjian itu. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada
tanda-tanda semua senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang. Sementara
Jepang telah bersiap-siap untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul
07.45 terpetik berita bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang dengan
menumpang kapal HMS Glenry. Mereka terdiri atas pasukan Inggris, termasuk
tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang. Dengan kedatangan
tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya pertempuran antara
pejuang Semarang dengan tentara Jepang. Untuk mengenang pertempuran Lima Hari
di Semarang ini, maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu
Muda.
b.
Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perebutan
kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul
10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang
dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa orang-orang
Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada
tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di
daerah itu telah berada di tangan Pemerintahan RI. Kepala Daerah Yogyakarta
yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan
Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan
kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung
Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung. Satu
hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin
melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para
pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para pemuda
terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU
(Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di
Kotabaru. Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah
pertempuran antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di
Yogyakarta. Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah,
dengan jaminan anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR.
Kemudian, TKR meminta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru untuk
menyerah. Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya serangan para
pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945
sekitar pukul 10.00, markas Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke
tangan Yogyakarta. Dalam pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang
dan 32 orang lukaluka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang
luka-luka. Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas.
R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan
berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada
di bawah kekuasaan RI
c.
Arek-arek Surabaya untuk Indonesia
Beliau bernama Bung Tomo, terkenal
karena perjuangannya dalam pertempuran Surabaya pada tahun 1945. Pertempuran rakyat
Surabaya dengan Sekutu terjadi pada tahun 1945 tersebut, menyebabkan ribuan
rakyat yang gugur. Karena itulah bangsa Indonesia menetapkan tanggal 10
November sebagai Hari Pahlawan.Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade
ini adalah bagia dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Jenderal D.C.
Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari panglima Allied forces for Netherlands
East Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para
interniran Sekutu. Kedatangan mereka diterima oleh pemimpin pemerintah Jawa
Timur, Gubernur Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah
RI dengan Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1) Inggris
berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda.
2) Disetujui
kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
3) Akan
segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya.
4) Inggris
hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Semangat tempur arek-arek
Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak dapat dilepaskan dari
kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan sekitarnya. Arek-arek
Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai yang terletak di depan
Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang dilucuti. Pertempuran
meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu Markas Jepang ini juga
berhasil dikuasai para pejuang. Gudang peluru di Kedung Cowek juga berhasil
direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran perebutan kekuasaan terhadap
Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang Jenderal Iwabe
menyerah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana Shibata. Semua kapal
perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada pejuang Indonesia.
Namun, pada perkembangan
selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada malam hari
tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan
Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan
membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta
kawan-kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan
menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio,
dan objek-objek vital lainnya. Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak
senjata yang pertama antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak
senjata itu meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30
Oktober 1945, Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur,
bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang
telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat. Melihat
kenyataan seperti itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno
untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan
Sekutu (Inggris) di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Karno, Bung
Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan
itu. Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Salah satu kesepakatannya adalah untuk menjaga keamanan di Surabaya dan
sekitarnya. Karena dirasa perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak,
maka dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia seperti
Residen Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara lain
Mallaby dan Shaw. Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin beserta
Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran dibeberapa
tempat. Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, para
anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih terjadi kontak
senjata. Pada saat itu, gedung ini diduduki oleh tentara Inggris. Arek-arek
Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut agar gedung itu dikosongkan.
Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada Mallaby itu, membuat arek-arek
Surabaya menuntut agar Mallaby dan tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu
sudah mulai gelap. Ketika itu rombongan Mallaby sedang berada di tempat
perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara
Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30. Ternyata mobil yang
ditumpangi Mallaby meledak dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen
Mallaby ini memancing kemarahan pasukan Inggris. Pada tanggal 9 November 1945,
Mayjen E.C. Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum agar
pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal
10 November 1945. Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa
pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat, Laut, dan Udara,
apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum itu. Inggris juga
mengeluarkan instruksi yang isinya “semua pemimpin bangsa Indonesia dari
semua pihak di kota Surabaya harus datang selambatlambatnya tanggal 10 November
1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendera merah
putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri,
lalu mengangkat tangan tanda menyerah.”Akhirnya pertempuran berkobar di
Surabaya. Inggris mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya. Pada tanggal 10
November 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda,
yaitu Sutomo (Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan
semangat juang arek-arek Surabaya. Pada saat terjadi pertempuran di Surabaya,
Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat melalui
pidato-pidatonya. Di dalam pidatonya melalui radio yang begitu berapi-api dan
selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir, “Allahu Akbar”.
Tokoh lain, misalnya Ktut Tantri, yakni wanita Amerika yang juga aktif dalam
mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa Inggris melalui Radio
Pemberontakan Bung Tomo. Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada
tanggal 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat,
yang terdiri dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa,
BBI, PTKR, dan TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4. Kota Surabaya
dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat, Tengah dan Timur. Sektor
Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah antara lain dipimpin oleh Marhadi,
sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiarjo. Sementara itu Sukarno
membakar semangat juang rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum
habis, keadaan semakin ekplosif. Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang
berlangsung sampai jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan
pertama. Gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada
sasaran yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda. Surabaya yang telah
digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para pemuda hampir 3 minggu
lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, walaupun pihak Inggris
menggunakan senjata-senjata modern dan berat. Pertempuran yang terakhir terjadi
di Gunungsari pada 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih
dilakukan. Markas pertahanan Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan
sebutan Markas Kali. Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan
kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air
Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Pertempuran di Surabaya telah
menunjukkan begitu heroiknya para pejuang kita untuk melawan kekuatan asing.
Untuk mengenang, peristiwa itu, maka tanggal 10 November diperingati sebagai
Hari Pahlawan.
d.
Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi
pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR
dan pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris. Latar belakang dari peristiwa ini
dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang sesudah mendaratnya Brigade
Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Oleh
pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang berada di
penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi oleh tentara
Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai
bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang
berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu. Insiden itu
berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di
Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan tercapai kata sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal,
diantaranya sebagai berikut.
1) Pihak
Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya
melindungi dan mengurus evakuasi Allied Prisoners War and Interneers
(APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu);
2) Jalan
raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia- Sekutu; dan
3) Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar
janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara
pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada
tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun, tanggal 22 November 1945
pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap
kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pemuda
dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga
membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.
Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah
pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945
dengan tujuan memukul mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit.
Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa
sekitarnya.
Sementara
itu, Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya Kemudian disusul 3 batalion
yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 Divisi III dibawah pimpinan
Mayor Suharto, batalion 8 dibawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng.
Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan
dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia
dari belakang dengan tanktanknya. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur
ke Bedono. Dengan bantuan resime kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalion
Polisi Istimewa yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, gerakan
musuh berhasil ditahan di Desa Jambu. Di Desa Jambu para komandan mengadakan
rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu
menghadirkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan
bertempat di Magelang. Sejak saat Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor
Utara, sector Selatan, sektor Barat dan sektor Timur. Kekuatan pasukan
bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR
dari Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur. Setelah mengetahui Isdiman gugur maka
pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun langsung memimpin
pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para
pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa. Kolonel Sudirman menyodorkan taktik
perang Supit Urang.
jalur perang gerilya Sudirman |
Taktik ini segera diterapkan. Musuh mulai terjepit
dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR. Sejak saat itu, pimpinan
pasukan TKR Purwokerto dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran menguntungkan
pasukan TKR. Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa Banyubiru,
yang merupakan garis pertahanan yang terdepan. Pada tanggal 12 Desember 1945
dini hari, pasukan TKR bergerak menuju sasaran masingmasing. Dalam waktu
setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan
musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di
tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat
malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan
pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa dan
mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena
letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka dapat
mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Magelang dan
Yogyakarta. Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang gemilang.
Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian perang langsung
mengambil air wudu dan segera melakukan sujud syukur seraya berdoa:
Ya Allah ya Tuhan, Maha
Besar dan Maha Kuasa Engkau. Engkaulah sumber kekuatan dan kemenangan.
Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.
Kemenangan
pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos pertahanan TKR, bahkan
sampai ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin menambah semangat juang pada
pejuang di medan tempur. Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin populer
sebagai komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga menunjukkan bahwa Republik
Indonesia masih memiliki pasukan yang kuat yaitu pasukan TKR dan rakyat yang
menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia. Untuk mengenang
pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan Hari Infanteri. Di Ambarawa
juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.
e.
Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November
1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat
di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA
yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Pemerintahan RI
Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan, seperti
Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan lainnya, karena menghormati tugas
mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa
tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan. Sehari setelah mendarat,
tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis,
Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para
tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata
kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan
itu, maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap
congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini memancing
timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh para pemuda.
Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan
menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah seorang yang
ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda. Insiden
ini menjalar ke berbagai kota seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Sementara
itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatra Timur dengan pimpinannya
Ahmad Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan terhadap bekas Giyugun dan Heiho
ke Sumatra Timur. Panggilan ini mendapat sambutan luar biasa dari mereka. Di
samping TKR, di Sumatra Timur terbentuk juga badan-badan perjuangan yang sejak
15 Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur dan kemudian
berganti nama menjadi Pesindo. Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, Inggris
memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memberikan
ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.
Hal ini dilakukan pula oleh Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18
Oktober1945. Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris.
Demikian pula pasukan Sekutu mulai melakukan aksi-aksi terornya, sehingga
timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda. Patroli-patroli Inggris tidak pernah
merasa aman, karena pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan jaminan
keamanan. Meningkatnya korban di pihak Inggris menyebabkan mereka memperkuat
kedudukannya dan menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan
Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu
merupakan tantangan bagi para pemuda. Pihak Inggris bersama NICA melakukan aksi
pembersihan terhadap unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan. Para
pemuda membalas aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan
pengepungan bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember
1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi TKR di
Trepes. Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan menghancurkan
beberapa truk. Dengan peristiwa ini Jenderal Kelly kembali mengancam para
pemuda agar menyerahkan senjata mereka. Barang siapa yang nyata-nyata melanggar
akan ditembak mati. Daerah yang ditentukan adalah kota Medan dan Belawan.
Perlawanan terus memuncak, pada bulan April 1946 tentara Inggis mulai berusaha
mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota
RI pindah ke Pematang Siantar. Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota
Medan. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan antara
komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama “Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area” yang dibagi atas 4 sektor dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di
bawah komando inilah mereka meneruskan perjuangan di Medan Area.
f.
Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran
diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut pangkalan udara Andir dan pabrik
senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang Pindad) dan
berlangsung terus sampai kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada 17 Oktober
1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA
melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran.
Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA
memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan
kolonialnya di Indonesia. Namun, semangat juang rakyat dan para pemuda yang
tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar.
Pertempuran demi pertempuran terjadi. Pada bulan Oktober di Bandung telah
terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin panglima TKR, Aruji
Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri atas wakil-wakil TKR dan berbagai
kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar
para pejuang menyerahkan senjata dan mengosongkan Bandung Utara. Ternyata
ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para pemuda
melakukan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung
dibawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi. Peristiwa yang memperburuk
keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan
musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan
korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan
ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah. Dalam
suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar menunggu reaksi
dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari berbagai kesatuan ini memutuskan untuk
melancarkan perlawanan. Pada malam hari tangga 24 - 25 November 1945 rakyat
Bandung melancarkan serangan terhadap posisi-posisi Sekutu dan NICA. Tanggal 23
Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum.
Isi ultimatum itu adalah
agar TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan mundur ke luar kota dengan jarak
11 km. Untuk menghindari penderitaan rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka
Pemerintah RI menyetujui untuk melaksanakan pengosongan kota Bandung. Kolonel
Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi enginstruksikan
rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946. Malam harinya
bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan mengungsi ke Bandung
Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota Bandung yang terbakar ini juga
disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang masih menunggu kabar kepastian
hilangnya sang suami. Warga mengungsi dengan membawa barang seadanya, sebagian
mengatur perjalanan ke pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen
kota, sebagian membakar gedung-gedung penting, bahkan meledakkan
bangunanbangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya
gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama ledakan.
Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan. Menyisakan kenangan
perjuangan Bandung Lautan Api. Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars
Halo Halo Bandung diciptakan. Kemudian monumen pun didirikan di lapangan
Tegalega. Sineas pun tak luput menjadikan peristiwa tersebut dalam film “Toha Pahlawan
Bandung Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api
karya Alam Rengga Surawijaya. Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra juga
mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api.
g.
Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita
proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, sampai pula di
Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang
berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional
Indonesia. Sementara itu, para pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi
untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian
dan kawan-kawan dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor
pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian Timur,
termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita proklamasi ke
penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu.
Para pemuda mulai
mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada
tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda yang terdiri dari bekas Kaigun,
Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Akibat
peristiwa itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para
pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke
Polombangkeng. Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan
ke Serui, Papua. Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka,
Kendari. Mulamula berita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang
dibawa oleh tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie
Heiso dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh
rakyat. Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang
kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamasi diterima
rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari
orang-orang Jepang yang datang ke Makassar. Mula-mula berita itu diterima di
Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi
diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita itu
diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara Heiho
dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu mengatakan
“Bangsa Indonesia sudah merdeka”. Di Manado, berita proklamasi pertama kali
diterima di markas besar tentara Jepang yang berkedudukan di Minahasa. Di
Markas itu terdapat alat-alat sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga
Indonesia diantaranya adalah A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang mendapat
tugas untuk menerima berita Domei dari Tokyo. Pada saat itulah berita
tentang proklamasi yang disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya,
tepatnya pada 18 Agustus 1945. Berita itu diterimanya bersamaan dengan berita
kapitulasi Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot
mengontak W.F. Sumati yang saat itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di
Tondano. Kedua tokoh itu kemudian menyampaikan berita proklamasi itu ke
tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud,
Bolaang Mongondow, dan Gorontalo. Setelah berita proklamasi kemerdekaan
tersebar keseluruh penjuru Sulawesi, sejak itu pula bendera merah putih mulai
berkibar menjadi lambang Indonesia merdeka. Cita-cita yang sudah lama
diinginkan oleh rakyat pun terwujud. Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera
merah putih dikibarkan pada 17 September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim.
Di Lasusua bendera merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri
oleh kepala distrik Patampanua dan beberapa pimpinan pemuda RI dari Luwu.
Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil pada
saat itu memimpin pasukan pemuda bersama Letkol. Ch. Taulu dan Serda S.D.
Wuisan merobek bagian biru pada bendera Belanda di tangsi militer Belanda, di
Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya bendera merah putih.
h.
Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi
lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan pertempuran laut
pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia. peristiwa itu dimulai
dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan
jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali
sebagai batu loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung
pangan untuk kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan
penghubung ke arah Australia. Dengan perkembangan di atas, maka telah
mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan Jepang berganti menjadi
Indonesia melawan Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin
perjuangan yang sudah sampai di Jawa berusaha mencari bantuan dan membentuk
kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi
atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan itu kemudian lebih dikenal
dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas mendampingi Kolonel
Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah Rai ke markas besar TRI di
Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin lemahnya kekuatan TRI Sunda
Kecil di Bali. Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI
Yogyakarta untuk memutuskan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan bantuan senjata
dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai. Untuk itulah Pasukan M berperan penopang
Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini juga dilengkapi
pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section) yang terdiri
dari para pelajar. Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade pasukan Belanda.
Pasukan angkatan laut dipimpin oleh Kapten Makardi dan Waroka. Angkatan Darat
di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Operasi itu direncanakan melalui
tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk
Bawang. Pasukan Markadi mendarat di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan
Pasukan I Gusti Gurah Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning. Operasi rahasia itu
ditujukan untuk mendapatkan informasi intelijen yang akurat. Pasukan
diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan sasaran daerah Kuning dan terus ke
Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam hari. Rombongan ini dalam
penyeberangannya di tengah laut dipergoki oleh patroli Belanda dan langsung
menembaki ke arah rombongan pasukan Ngurah Rai. Akibatnya Cokorde Rai Gambir
dan Cokorde Dharma Putra gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan
sebagian lagi di bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar. Keesokan harinya tanggal 4
April 1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya
menuju Munduk Malang.
Gelombang
ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal 4 April 1946
malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi dengan berkekuatan empat
peleton. Sasarannya akan mendarat di daerah Candikusuma. Saat fajar
menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki oleh dua motorboat Belanda
yang sedang berpatroli. Terjadilah pertempuran antara Pasukan M melawan patroli
Belanda. Dengan taktik menempel pada motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk
ditembaki Belanda. Sebaliknya, Pasukan M dapat melemparkan granat-granat tangan
ke dek motorboat. Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan
tenggelam serta yang satunya melarikan diri. Setelah berhasil menghancurkan
patroli Belanda, Pasukan memerintahkan untuk putar haluan kembali ke
Banyuwangi, sebab arus laut yang kuat dan kapal Markadi sendiri
berlobang-lobang. Dalam perang ini, pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni
Sumeh Darsono dan Sidik. Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju
Bali dan mereka berhasil melakukan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan
Candikusuma. Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibentuk MGGSK
(Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil). Kemudian pada bulan Juli 1946, juga
terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi. Setelah
itu terjadilah pertempuran di berbagai daerah. Mula pertama pasukan MGGSK
dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan. Terjadilah pertempuran sengit.
Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang gugur, antara lain Kapten Saestuhadi,
Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi. Selanjutnya, Pasukan M melakukan
penyerangan ke berbagai daerah, antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman,
Candikusuma, Cupek, Negara, Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang,
Tabanan, dan Celukan Bawang. Untuk mengenang perjuangan pasukan kita yang gugur
dalam operasi lintas laut, maka di daerah Cekik, Gilimanuk didirikan monumen
yang dinamakan Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.
Langganan:
Postingan (Atom)