Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC (J.P. Coen)
Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC (J.P. Coen)
A. Penyebab Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC di Batavia
Kedua, Sultan Agung sempat mengajukan
beberapa tawaran kepada VOC, tetapi ditolak. Pada tahun 1621, personel VOC yang
ditawan dipulangkan ke Batavia beserta pengiriman beras. VOC mengirimkan
perutusan-perutusannya kepada Sultan Agung pada tahun 1622, 1623, dan tahun
1624, tetapi permintaan Sultan Agung akan bantuan angkatan laut VOC dalam
rangka melawan Surabaya, Banten, maupun Banjarmasin ditolak oleh pihak VOC.
Karena VOC tidak bersedia memberikan bantuan angkatan laut kepadanya, maka
tidak ada satu alasan pun bagi Sultan Agung untuk membiarkan kehadiran mereka
di Pulau Jawa.
Ketiga, bagi Sultan Agung, Batavia
merupakan kota yang dapat merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram dan
Malaka dipersukar oleh Batavia. Sultan Agung menganggap bahwa hanya ada satu
cara untuk melepaskan diri dari Batavia yaitu dengan mengahancurkan kota
tersebut. Sudah berkali-kali ia mengirim utusan kepada VOC untuk mengirim wakil kepadanya, tetapi hal itu tidak dilakukan
oleh pihak VOC. Atas dasar inilah raja Mataram mengadakan persiapan untuk
menyerbu Batavia.
Keempat, Imperialisme Belanda dengan VOC
nya mempunyai dua rencana kejahatan. Pertama, dalam proses mempercepat
perebutan kekuasaan ekonomi Islam. Kedua, berlomba-lomba untuk memperoleh
hegemoni antar Imperialis Barat di Nusantara dan Kerajaan Katolik Portugis juga
Spanyol serta Kerajaan Protestan Anglikan Inggris. Di bawah kondisi tantangan
Imperialis Protestan Belanda ini, Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia
pada tahun 1628-1629.
B. Bentuk Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC
1. Perlawanan
Pertama, 1628.
Tanda-tanda pertama bahwa orang Mataram akan
merencakan sesuatu yang luar biasa adalah penutupan hampir seluruh pantai Jawa
atas perintah Tumenggung Baureksa dari Kendal. Penutupan ini telah dimulai pada
awal tahun 1628. Berita tentang penyerangan Raja Mataram terhadap Batavia
dengan 48.000 atau 100.000 pasukan masih tetap gencar. Pada tanggal 13 April
1628, Kia Rangga tiba di Batavia dengan 14 kapal yang bermuatan beras. Ia
memohon bantuan kepada Belanda agar membantu Sultan Agung melawan Banten.
Permohonan pertama dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, tetapi permohonan
selanjutnya ditolak karena semua pelabuhan jelas ditutup dengan ketat. Pada
tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa (Panglima tertinggi armada Jawa)
tiba di pelabuhan Batavia dengan 50 kapal yang lengkap dengan perbekalan yang
sangat banyak. Perbekalan tersebut terdiri dari 50 gorab dan kapal-kapal yang memuat
150 ekor ternak, 120 last beras, 10.600 ikat padi, 26.000 kelapa, 5.900 ikat
batang gula, dan sebagianya dilengkapi dengan tidak kurang dari 900 awak kapal.
Hal ini membuat VOC sangat prihatin, sehingga sebagian hewan diturunkan dan
sebagian kapal-kapal besar ditahan di luar pelabuhan yang menimbulkan kemarahan
pasukan Mataram. Pada tanggal 24 Agustus, tiba lagi kapal dengan tujuan Malaka.
Pihak Belanda berusaha memisahkan kapal ini dari kapal-kapal lainnya agar tidak
sempat memberikan senjata kepada teman-temannya. Akan tetapi, usaha ini gagal,
kapal-kapal akhirnya dapat berkumpul. Pada pagi hari 20 buah perahu menyerang
pasar dan benteng. Orang-orang Mataram yang dengan perahu itu naik ke darat dan
mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan ini berlangsung sampai pagi.
Banyak korban yang jatuh. Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24 Agustus
mendarat di Marunda dan tidak mau mendekati Batavia setelah mengetahui
penyerbuan ke benteng tersebut memakan banyak korban. Keesokan harinya, 26
Agustus 1628, datang sebuah pasukan besar di bawah pimpinan Tumenggung
Baureksa.
Dalam menghadapi kekuatan Mataram, Belanda
mengorbankan daerah sekitar benteng. Kampung disekitarnya dibakar dan diratakan
dengan tanah. Pada waktu pasukan Mataram hendak mendekati benteng, dengan
mudahnya Belanda mengusir mereka karena pihak Mataram tidak mendapat tempat
persembunyian. Akhirnya, dengan terpaksa pasukan Mataram menarik diri ke
daerah-daerah yang agak jauh yang berpohon dan membuat benteng-benteng dari
anyaman bambu. Meskipun demikian, mereka berhasil maju karena mereka menggali
parit-parit dan membuat benteng-benteng seperti di atas. Adapun taktik VOC
untuk menghadapi pasukan Mataram ini adalah dengan mengirim sejumlah tentara
yang dilindungi oleh 150 penembak sehingga mereka berhasil mengusir pasukan
Mataram dari parit-parit ini. Korban yang tercatat pada peristiwa ini
diperkirakan antara tiga puluh sampai empat puluh orang. Pada tanggal 21
September pasukan Mataram mulai menyerang benteng Hollandia. Semalam penuh
mereka berusaha untuk dapat menaikinya dengan tangga. Akan tetapi, 24 seradadu
Belanda dapat mempertahankannya dengan gigih hingga semua peluru telah habis
tertembak. Ketika diketahui bahwa yang menjadi sasaran hanya Hollandi saja,
Belanda mulai melancarkan serangan besar dengan 300 serdadu dan 100 orang
sipil. Bahkan dalam perkemahan pasukan Mataram ditimbulkan kekacauan. Seluruh
pos terdepan orang Mataram dirusak dan dibakar. Kerugian mereka diperkirakan
1.200 sampai 1.300 orang yang gugur, dan dua sampai tiga ribu ditawan. Angka
tinggi yang terakhir ini dapat menunjukkan bahwa pasukan Mataram
tercerai-berai. Pihak Belanda mendengar kabar bahwa masih tersisa pasukan
Mataram sekitar tiga sampai empat ribu orang, dan masih banyak yang berkeliaran
di hutan untuk mencari makan. Oleh karena itu, pada 21 Oktober diadakan
serangan umum yang dipimpin komandan Batavia, Jacqus Lefebre. Ia dapat
mengerahkan kekuatan tentara sebanyak 2.866 orang. Sebuah armada yang terdiri
dari dua sampai dengan tujuh sekoci dan beberapa kapal berawak 150 orang
dikatakan akan menyerang perkemahan musuh dari sungai, sedangkan pasukan musuh
yang lain akan diserbu oleh angkatan darat. Pada pertempuran ini Tumenggung
Baureksa beserta putraya dan sekitar 200 pasukan mataram gugur. Akhirnya,
pasukan Mataram yang kedua telah tiba untuk memperkuat pasukan sebelumnya.
Pertempuran ini hampir mengalahkan Belanda, karena pasukan Belanda kebanyakan
kehabisan peluru. Di pihak Belanda 60 orang gugur dan kehilangan senjata.
Panglima pasukan yang baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul dibantu oleh
Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Upasanta. Mereka dikatakan tiba di
ambang Batavia dengan harapan kota telah ditaklukkan sehingga mereka hanya
tinggal menyita pakaian-pakaian dan beberapa uang. Angkatan kedua ini mengubah
taktik dan hendak menjalankan taktik seperti yang digunakan terhadap Surabaya,
yaitu dengan membendung Sungai Ciliwung dengan maksud agar Batavia kekurangan
air. Namun, usaha ini gagal karena musim penghujan mulai datang. Jatuhnya musim penghujan itu membuat Batavia sangat beruntung,
tetapi bagi pasukan Mataram merupakan suatu kerugian, sebab segera timbul
macam-macam penyakit. Selain itu pasukan Mataram banyak yang menderita
kelaparan dan serba kekurangan. Padahal, telah diperkerjakan sebanyak 3.000
orang selama satu bulan sejauh satu mil dari kota untuk dapat membendung kota,
tetapi kemajuan sangat lambat, rakyat merasa lemas karena kelaparan dan serba
kekurangan. Satu-satunya serangan pada bagian kedua pengepungan ini adalah
usaha baru untuk merebut benteng Hollandia. Hal ini dilakukan pada malam 27
November. Pertama-tama dikerahkan sebanyak 100 pasukan, kemudian dengan 300
pasukan, tetapi beberapa di antara mereka mati tertembak dan sisa pasukan yang
lain melarikan diri. Sehingga serangan terhadap Hollandia mengalami kegagalan.
Oleh sebab itu, pada tanggal 1 Desember Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan
agar mengikat Mandurareja dan Upa Santa beserta anak buahnya, atas perintah
Sultan mereka dihukum mati karena Batavia gagal ditaklukkannya dan karena
mereka dianggap tidak bertempur mati-matian. Beberapa di antara mereka
dipancung, kebanyakan ditikam dengan tombak dan keris. Ketika pasukan
meninggalkan Batavia, mayat-mayat dibiarkan di tanah dan menjadi tontonan
eksekusi yang kejam. VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak
dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala. Demikianlah berakhir
pengepungan Batavia yang pertama, yang akan diulang pada tahun berikutnya oleh
Sultan Agung.
2. Serangan
Kedua, 1629
Persiapan untuk serangan kedua dijalankan jauh
sebelum serangan itu dimulai dan perhatian dipusatkan pada persoalan logistik
kecuali masalah persenjataan dan pengangkutan, yang sangat vital fungsinya
adalah beras. Di beberapa tempat sepanjang rute perjalanan barisan diadakan
tempat persediaan beras, antara lain di Tegal dan Cirebon. 16 Sementara itu
berita tentang persiapan Mataram untuk mengulang pengepungan sudah lama
terdengar sampai di Batavia. Raja Cirebon, baik Raja Sepuh maupun Raja Anom
dikatakan mengirim informasi secara rahasia ke Batavia.Serangan yang kedua
dilakukan pada tahun 1629, akan tetapi serangan yang kedua ini merupakan
malapetaka bagi Sultan Agung dan pasukannya. Sebelum pertempuran dimulai,
utusan Mataram yang bernama Warga, menawarkan perdamaian dengan VOC, tetapi setelah
diketahui maksud Mataram yang sebenarnya, dia dihukum mati. Angkatan perang
Sultan Agung berangkat dalam dua gelombang, yang pertama terdiri atas artileri
dan amunisi yang berangkat pada pertengahan Mei 1629, adapun gelombang kedua
ialah pasukan infanteri yang berangkat pada tanggal 20 juni 1629. Pasukan itu
dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, K.A. Purbaya, dan K.A. Puger. Mereka
dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun
dan K.A. Sumenep.
Pada tanggal 4 Juli pihak VOC mulai memusnahkan
200 kapal, 400 rumah, dan satu gunungan padi. Rasa takut timbul sedemikian
hebat sehingga tidak ada satu pun kapal milik orang Mataram yang berani muncul.
Beberapa minggu kemudian, gunungan padi kedua di Cirebon dimusnahkan. Dengan
melihat kejadian-kejadian ini, sebenarnya hasil peperangan sudah dapat
diketahui. Apapun usaha dan kemahiran yang dilancarkan pasukan Sultan Agung
terhadap VOC, pihak Mataram tetap saja menerima kekalahan. Hal ini disebabkan
karena dengan kekurangan makanan seluruh pengepungan hanya bertahan satu bulan.
Pada tanggal 8 September pihak yang dikepung melihat bahwa orang Mataram dengan
parit perlindungan yang sangat diperkuat telah mendekati benteng Hollandia.
Hanya dengan satu sergapan saja, parit-parit pertahanan tersebut dapat
dihancurkan. pada tanggal 12 September, benteng Bommel diserbu 200 orang,
delapan hingga sembilan orang mulai memanjat dan langsung dipukul mundur. Pada
tanggal 14 dan 15 September datang gerobak-gerobak berisi meriam yang ditarik
dengan menggunakan 12 sampai dengan 18 ekor kerbau. Pada tanngal 17 September
pihak VOC merencakan sebuah sergapan di bawah pimpinan Antonio van Diemen.
Sebagian pertahanan pihak Mataram dibakar. Akan tetapi, hujan menolong pihak
Mataram dalam usahanya untuk memadamkan kebakaran. Pada hari-hari berikutnya
pihak Mataram mempersiapkan persenjataan mereka. Sehingga pada tanggal 21
September, tepat sebulan sesudah orang Mataram pertama muncul di Batavia,
tembakan pertama dapat dilepaskan. Pada tanggal 20 September Gubernur Jenderal
Jan Pietersz. Coen meninggal dunia karena mendadak sakit. Tepat pada tanggal 27
September pihak Belanda memutuskan untuk tidak lagi mengadakan serangan umum,
karena pihak Mataram yang ditawan memberi keterangan tentang bahaya kelaparan
yang semakin mengancam. Pada serangan kecil yang terjadi pada 1 Oktober, pihak
Mataram kelihatan tidak bersemangat lagi. Keesokan harinya penarikan mundur
dimulai. Pasukan yang mundur ini meninggalkan mayat-mayat dan korban, gerobak-gerobak
kosong beserta barang-barang yang lain, dan semakin jauh dari kota semakin
banyak jumlahnya. Penyerangan di tahun 1629 ini mengakibatkan pihak Mataram
mengalami banyak penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan,
tentarannya pun bercerai-berai dalam perjalanan pulang mereka. Sedangkan VOC
hanya menderita sedikit kerugian. Ambisi Sultan Agung tidak seimbang dengan
kemampuan militer dan logistiknya sehingga telah membawa dirinya ke dalam
kehancuran di depan Batavia. Semenjak itu, tentara Mataram tidak pernah lagi
menyerang Batavia. Menurut Graff, penyebab kegagalan pihak Mataram terletak
pada kurangnya perawatan, kurangnya daya tembak dibandingkan dengan kemampuan
orang Eropa, serta postur tubuh orang Jawa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
orang Belanda. Juga benteng pertahanan Eropa, bagaimanapun primitif dan kurang
efisiensinya, sangat menyulitkan mereka. Misalnya saja serbuan mereka yang
gagal terhadap benteng kecil yang dipertahankan oleh kurang lebih 12 orang
saja. Meskipun demikian, pasukan Mataram ternyata sangat berdisiplin, mereka
berani bertempur, dan dapat menyesuaikan diri dengan cara-cara tempur yang
asing baginya, misalnya pengepungan terhadap kota yang diperkuat secara Eropa.
Hanya pada detik-detik terakhir, ketika keadaan serba kekurangan mulai terasa
dan penyakit merajalela, semangat dan daya tahan mereka mulai berkurang.
C. Dampak Kekalahan Sultan Agung Bagi Kerajaan Mataram Islam
Kegagalan yang sampai dua kali dialami
pasukan Mataram di Batavia tentu meninggalkan kesan yang mendalam terhadap
Mataram khususnya bagi Sultan Agung. Setelah musibah di Batavia, Sultan Agung
memang patut cemas. Pertama, rakyat Priangan melepaskan diri dari kekuasaan
Raja karena menyesalkan petaka di Batavia yang meminta banyak korban. Di
samping itu, mulai terjadi sejumlah pergolakan di sekitar pusat kerajaan yang
mungkin lebih berbahaya. Musibah yang terjadi pada tahun 1628 dan tahun 1629
jelas mencemaskan lapisan masyarakat Mataram. Suatu rangkaian kemenangan yang
tidak ada putusnya, sekarang tiba-tiba berhenti. Dikabarkan bahwa suluruh
bangsawan Mataram diliputi rasa takut terhadap Batavia, dan mereka menasehati
Sultan Agung agar tidak lagi memerintahkan untuk kembali ke Batavia, kecuali
bila Sultan Agung ikut serta. Pada tahun 1630, Sultan tidak mampu berbuat
sesuatu yang luar biasa. Sepertinya ekspedisi pada tahun-tahun sebelumnya dan
terutama pada tahun 1629 sangat melelahkan Sultan Agung sehingga terkesan ia
tidak berhasrat untuk berperang lagi, dan ia membutuhkan waktu untuk istirahat
sejenak.
Kekalahan Sultan Agung di Batavia juga
telah menghancurkan mitos bahwa dirinya tidak dapat dikalahkan. Kerajaannya
yang rapuh harus dipersatukan kembali dengan kekuatan militer. Kekalahan
tersebut juga mengakibatkanVOC di Jawa semakin kuat dan merajalela. Sehingga
kerajaan Mataram dipaksa untuk mengakuinya. Dengan demikian, visi Sultan Agung
untuk menyatukan seluruh pesisir Pulau Jawa gagal terpenuhi. Sementara VOC
mengontrol wilayah pesisir Jawa. VOC juga meletakkan fondasi bagi penjajahan
oleh pemerintahan Belanda selanjutnya, tidak hanya di Jawa, tetapi juga hampir
di seluruh wilayah Nusantara. Pasca kegagalan Sultan Agung untuk merebut
Batavia, pihak VOC mulai melancarkan serangan dan secara berkala memperluas
wilayah dengan mengambil alih kekuasaan raja-raja pribumi. Selain Sultan Agung, tidak ada lagi seorang
pun raja Jawa yang menjadi ancaman serius bagi Belanda hingga masa Pangeran
Mangkubumi, dan tidak akan ada lagi kekuatan Jawa yang mengepung Batavia.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram melakukan
pemberontakan untuk merdeka. Diawali dengan pemberotakan yang dipimpin oleh
para guru agama dari daerah Tembayat, pada tahun 1630 Sultan Agung membantai
habis-habisan kaum pemberontak tersebut. Pada tahun 1631, Sultan Agung menumpas
pusat-pusat perlawanan di Sumedang dan Ukur di Jawa Barat. Kemudian di tahun
1636 terjadi pemberontakan di Giri. Sultan Agung mengutus Pangeran Pekik untuk
menaklukkan Giri dan pada tahun 1640 berhasil menundukkan Blambangan. Akhirnya,
pada tahun 1646 kira-kira antara awal bulan Februari dan awal bulan April,
Sultan Agung wafat. Hal ini diduga karena Sultan Agung terserang suatu
penyakit. Pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah
terjadinya kudeta, dan putranya dinyatakan sebagai penggangtinya dengan gelar
Susuhunan Amangkurat I. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa sebelum Sultan
wafat, ia berpesan kepada Pangeran Purbaya:
Uwa Purbaya, rasa-rasanya saat ini saya
sudah waktunya untuk menghadap Allah. Saya hanya berpesan, bahwa yang pantas
menjadi Sultan di Mataram ini adalah putra saya yang tua, yaitu pangeran
Adipati Arya Mataram, sedangkan putra saya yang muda biarlah turut serta mulia
bersama. Uwa saya minta untuk dapat membimbing cucu, putra saya serta seluruh
kerabat. Selamat tinggal. Pada masa Amangkurat I (Pengganti Sultan Agung),
pengejaran terhadap Giri terus dilakukan dan sebanyak 6000 santri dibantai di
alun-alun Plered. ketika Giri telah dikuasai, maka tidak ada satu pun daerah
pesisir yang merdeka. Inilah yang kemudian disebut sebagai pemisahan antara
agama dan Negara. Jika pada masa-masa sebelumnya, ulama pesisir banyak yang
menjadi penasehat raja, maka semenjak itu ulama-ulama pesisir tidak lagi
menjadi penasehat raja.Amangkurat I memang berbeda dengan ayahnya yakni Sultan
Agung yang sangat menentang VOC. Amangkurat I bersikap anti ulama dan melakukan
pendekatan serta kerja sama dengan VOC. Sepeninggal Sultan Agung, perpecahan,
persaingan, perebutan kekuasaan dan kepentingan pribadi di antara
penguasa-penguasa daerah dan di antara kaum bangsawan kembali berkecamuk.
Seperti itulah kondisi Mataram pasca pemerintahan Sultan Agung.
Sumber :
a. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka
b. Ricklefs. 2011. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
c. H.J. de Graaf Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung
0 komentar: