Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said Terhadap Hegemoni VOC
.
Perlawanan Pangeran
Mangkubumi dan Mas Said terhadap hegemoni VOC.
Perlawanan
terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan
kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung
sekitar 20 tahun. Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja
Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat dengan
kaum penjajah. Pada saat pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan
VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melakukan intervensi terhadap
jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin
berkurang. Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan
kekecewaan para bangsawan kerajaan. Terlebih lagi VOC melakukan intervensi
dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai
perlawanan misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said
adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara
dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14 tahun Raden Mas
Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana)
dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa sudah berpengalaman, Raden
Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga
kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan
orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan
sikap keluarga kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap
VOC yang telah membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bekerja
sama dengan VOC. Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap
penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC. Raden Masa Said diikuti R.
Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa)
pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar
Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati
Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang
sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan Mas Said cukup kuat karena mendapat dukungan dari
masyarakat sehingga menjadi ancaman yang
serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram.
Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas
Said akan diberi hadiah sebidang tanah di
Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak
menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap
VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara
berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin
mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari
Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran
Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan
perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji.
Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan
kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh
ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II
yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak
dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Dalam
suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750)
mengeluarkan kata-kata yang menghina dan
menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang
sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi. Dia menganggap pejabat VOC secara langsung
telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera
meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk
melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam politik
pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara
tuanya Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan
pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak
bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden
Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said
sepakat untuk membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur,
daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati.
Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke
barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk
daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran Mangkubumi
memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan meluas
di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan
pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah
berkecamuknya perang di berbagai tempat, terdengar berita
bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk
segera datang ke istana kerajaan. Melihat
kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan
sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp
(1762-1834) untuk secepatnya menemui
Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam kondisi Pakubuwana II sakit
keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah
perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang
diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van
Hohendorft.
Isi perjanjian ini sangat
menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, karena Pakubuwana II telah
menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC. Perjanjian itu ditandatangani pada
tanggal 11 Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut.
1.
Susuhunan
Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure
kepada VOC.
2.
Hanya keturunan
Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja
Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
3.
Putera mahkota akan
segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749
Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan
Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut
merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram
yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada
pihak asing (VOC). Hal ini semakin membuat
kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga
keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlu diketahui bahwa pada
saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani, Pakubuwana II
dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja
yang baru. Mataram dalam keadaan vakum. Dalam keadaan vakum ini, oleh para
pengikutnya Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri
Susuhunan Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer. Karena
penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di
Desa Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan
atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun
kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi kemenangan diperoleh
Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said. Sebagai contoh pasukan Mangkubumi
berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu. Dari Kedu
pasukan Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil
menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi
tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said
mulai frustrasi dan putus asa. Oleh karena itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan
diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku
Gubernur Jenderal VOC digantikan oleh Jacob Mosel. Kedua pejabat VOC yang baru
ini berusaha keras untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas
Said. Cara perundingan mulai
dipikirkan secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang
terjadi di Mataram telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan
Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena
itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan
perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi
bersedia berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi
berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti. Isi
pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat
(daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai
sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah
Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan
Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian
Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Namun peperangan
dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang
tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam
konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan konsep dan
kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang sampai Indonesia merdeka. Sementara
perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal
17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah
Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara
Sumber:
1.
https://tirto.id/belanda-membelah-jawa-dengan-perjanjian-giyanti-cEpq
2. Riclefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Terj:
Dharmono.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
3.
Satyo, Anton. 2006. Giyanti 1755. Tanggerang: CS Book
0 komentar: